Linux Dasar
18 Oktober 2004 -
04:54 WIBB
Hikayat GNU/Linux di
Indonesia
Rahmat M.
Samik-Ibrahim, Ketua vLSM.org, http://rms46.vlsm.org/
Sejarah kelahiran
GNU/Linux telah banyak ditulis, tapi tidak tentang sejarah sistem operasi
(sisop) itu di Indonesia. Inilah hikayat itu, yang sedikit subyektif karena
digali dari ingatan penulis selama di Pusat Ilmu Komputer UI pada 1980-an.
Waktu itu tahun
1980-an, akhir zaman keemasan komputer mini. Setiap komputer mini--yang tak
secanggih main-frame, namun setiap sistem masih terdiri dari bongkahan
besar--menggunakan sisop tersendiri, yang tak cocok (kompatibel) dengan sisop
dari sistem lainnya. Sebuah program yang dikembangkan pada sistem tertentu juga
belum tentu dengan mudah dapat dijalankan pada sistem lainnya. Nama besar era
tersebut misalnya "DEC-Digital Equipment Corp.", "DG--Data
General", "HP--Hewlett Packard", "Honeywell--Bull",
dan "Prime".
Kemudian muncul sisop
"UNIX[TM]", yang dapat dijalankan pada berbagai jenis komputer,
bahkan pada generasi komputer "super mikro", yang berbasis prosesor
32 bit seperti Motorola MC68000. Ya, pada waktu itu Motorola belum terkenal
sebagai produser telepon genggam!
Di Universitas
Indonesia, sistem berbasis UNIX pertama (1983) adalah "Dual 83/20"
dengan sisop UNIX versi 7, memori 1 Mbyte, serta disk 8" dengan kapasitas
20 Mbytes. Penelitian menggunakan komputer yang sekarang nampak amat kuno itu
telah menghasilkan puluhan sarjana S-1, yang pada saat itu berkisar dalam
jaringan komputer, seperti pengembangan email (PESAN), alih berkas (MIKAS),
porting UUCP, X.25, LAN ethernet, dan network printer server.
Komputer "Dual
83/20" kemudian lebih dikenal dengan sebutan "INDOGTW"
(Indonesian Gateway), karena pada akhir 1980-an digunakan sebagai dedicated
email server ke luar negeri yang beroperasi 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
Sementara itu, fungsi riset sistem itu digantikan komputer baru "INDOVAX",
yaitu DEC VAX-11/750 dengan sistem unix 4.X BSD dengan memori 2 Mbytes, serta
disk 300 Mbytes. Pada waktu itu sangat lazim menamakan satu-satunya VAX pada
setiap institusi dengan akhiran "VAX". Sistem ini pun, yang sekarang
nampak ketinggalan, menghasilkan puluhan sarjana S-1 UI untuk berbagai
penelitian seperti rancangan VLSI, X.400, dan sejenisnya.
Kehadiran prosesor
Intel 80286 (lalu 80386) kemudian mendorong pengembangan sisop
"XENIX". Harga sistem yang relatif murah menyebabkan kenaikan
populasi sistem Unix yang cukup signifikan di Indonesia. Aplikasi yang populer
untuk sistem ini ialah sistem basis data Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Untuk
mewadahi para pengguna dan penggemar UNIX yang mulai berkembang dibentuk sebuah
Kelompok Pengguna Unix (Unix Users Group) yaitu INDONIX, yang dimotori
"Didik" Partono Rudiarto (kini pimpinan INIXINDO).
Pada awalnya, setiap
sistem operasi Unix dilengkapi kode sumber (source code). Namun, akibat
regulasi Amerika, hal itu tak berlaku untuk negara non Amerika (terutama non
Eropa). Sebagai alternatif, Prof. Andrew S. Tanenbaum dari VU (Belanda) membuat
"MINIX" (Mini Unix). Program Studi Ilmu Komputer UI pernah membeli
source code MINIX versi 1.2 (1987) dan versi 1.5 (1999).
Sayang MINIX memiliki
dua kelemahan bawaan. Pertama, sisop ini dibuat agar mudah dipelajari, jadi
dengan sengaja tidak dibuat canggih dan rumit--MINIX bahkan dapat dijalankan
pada PC biasa tanpa Harddisk! Kedua, (pada awalnya) MINIX harus dibeli dengan harga
lebih dari US $ 100 per paket, yang tak murah untuk mahasiswa manapun.
Besar kemungkinan,
siapa pun pengguna MINIX saat itu (termasuk penulis), pernah mengangankan untuk
merancang kernel "idaman" pengganti MINIX yang dapat
"dioprek", "dipercanggih", dan "didistribusikan"
dengan bebas. Tidak heran, ketika tahun 1991 Linus B. Torvalds mengumumkan
kehadiran kernel "idaman" melalui buletin USENET News
"comp.os.minix", sambutan amat hangat. Kernel ini kemudian lebih
dikenal dengan nama Linux.
Belum jelas siapa
yang pertama kali membawa Linux ke Indonesia. Namun, yang pertama kali
mengumumkan kepada publik (melalui milis pau-mikro) ialah Paulus Suryono
Adisoemarta. Waktu itu, pada 1992, Bung Yono--nama akrabnya--datang dari Texas
membawa distro SoftLanding System (SLS) dalam beberapa keping disket. Kernel
Linux pada distro tersebut masih revisi 0.9X (alpha testing), dengan kemampuan
dukungan jaringan yang sangat terbatas. Karena pada awal 1990-an kisaran harga
sebuah kartu ethernet US $ 500 (sekarang hanya berharga US $ 5), dapat
dimaklumi jika pengembang LINUX jarang berkesempatan mengembangkan driver
ethernet.
Periode 1992-1994
merupakan masa vakum. Baru ketika Kernel Linux 1.0 keluar pada 1994-an, gairah
muncul lagi. Salah satu distro yang masuk ke Indonesia tahun itu ialah
Slackware (kernel 1.0.8). Distro tersebut cukup lengkap dan stabil, hingga di
UI merangsang tumbuhnya komunitas GNU/Linux. PC--umumnya dengan spesifikasi
prosesor 386 dan 486, memori antara 4-8 Mbytes, dan hardisk 40-100 Mbyte--pun
dibuat "dual boot", yaitu dapat dalam mode DOS atau Linux.
Tahun 1994 merupakan
tahun penuh berkah. Tiga penyelenggara Internet sekaligus mulai beroperasi:
IPTEKnet, INDOnet, dan RADnet. Pada tahun berikutnya (1995), telah tercatat
beberapa institusi mulai mengoperasikan GNU/Linux sebagai production system,
seperti BPPT (mimo.bppt.go.id), IndoInternet (kakitiga.indo.net.id),
Sustainable Development Network (www.sdn.or.id dan sangam.sdn.or.id), dan
Universitas Indonesia (haur.cs.ui.ac.id).
Kehadiran internet di
Indonesia merangsang tumbuhnya sebuah industri baru, yang dimotori oleh para
enterpreneur muda. Mengingat GNU/Linux merupakan salah satu pendukung dari
industri baru tersebut, tidak dapat disangkal bahwa ini merupakan faktor yang
cukup menentukan perkembangan GNU/Linux di Indonesia. Selama perioda 1995-1997,
GNU/Linux secara perlahan mulai menyebar ke seluruh pelosok Indonesia, bahkan
krisis monetor 1997 pun tak dapat menghentikan penyebarannya.
Sebelum 1997,
pertanyaannya mungkin "Apa itu Linux?". Alhamdulillah, sekarang
menjadi sebaliknya: "Anda belum kenal Linux?"
Catatan: Nama-nama
tersebut diatas, merupakan merek dagang dari masing-masing pemiliknya.
URL Terkait:
============
Catatan: Artikel ini
dapat Anda baca juga di Koran Tempo tanggal 12 September 2003